Dalam perkembangannya filsafat dapat diklasifikasikan
dalam beberapa masa yaitu : Filsafat Yunani, Filsafat abad pertengahan,
Filsafat Islam dan Filsafat Modern. Runtuhnya kebudayaan Abad pertengahan
disusul oleh periode pertentangan disusul oleh periode pertentangan pemisahan
dan perubahan-perubahan mendalam dalam bidang politik, ekonnomi dan agama.
Sehingga timbulah filsafat Modern. Salah satu yang aliran yang memberikan wajah
baru dalam filsafat modern dimana aliran ini juga mengubah kebudayaaan Eropa
Barat yaitu aliran rasionalisme. Aliran Rasionalisme dalam perjalannnya tidak
luput dari beberapa tokoh filsafat yang terkenal dan paling berpengaruh dalam
aliran ini yaitu Gottfried Wilhelm Liebniz.
BIOGRAFI Gottfried Wilhelm Liebniz
Masa Kecil Leibniz Gottfried W. Leibniz lahir pada tanggal 1 Juli 1646 di
Leipzig, Jerman. Putra dari Friedrich Leibniz, seorang professor filsafat moral
di Leipzig, Jerman. Friedrich Leibniz berkompeten di bidangnya walaupun
pendidikannya tidak tinggi, ia mencurahkan waktu untuk keluarga dan
pekerjaannya. Friedrich Leibniz beragama Kristen yang taat. Ibu Gottfried W. Leibniz, Catharina
Schmuck, anak seorang pengacara dan ia adalah istri ketiga Friedrich Leibniz.
Ayah Gottfried W. Leibniz meninggal dunia ketika ia berumur 6 tahun dan ia
dibesarkan oleh ibunya. Nilai moral dan religius memegang peranan penting dalam
kehidupan dan falsafah hidupnya. Pada
usia 7 tahun, Leibniz memasuki sekolah Nicolai di Leipzig. Walaupun ia belajar
bahasa Latin di sekolah, namun jauh lebih maju bahasa Latin yang ia pelajari
sendiri dan beberapa bahasa Yunani pada usianya yang ke-12 tahun. Leibniz
tampaknya telah termotivasi oleh keinginan untuk membaca buku-buku ayahnya.
Secara khusus ia membaca buku metafisika, teologi dan buku-buku dari kedua
penulis Katolik dan Protestan. Pada
tahun 1661, pada usia ke-14 tahun, Leibniz masuk ke Universitas Leipzig. Sebuah
usia dini yang luar biasa bagi siapa pun untuk memasuki universitas, menurut
standar waktu itu dia cukup muda, tetapi masih ada orang lain yang usianya
sama. Pelajaran yang diperoleh Leibniz di Universitas Lepzig diantaranya
filsafat dan matematika. Ia lulus dengan gelar Sarjana Muda di tahun 1663
dengan thesis De Principio Individual (Pada Prinsip Individu). Perjalanan Hidup Leibniz Pada
tahun 1663 Leibniz pergi ke Jena dan ia bertemu dengan profesor matematika di
Jena, Erhard Weigel yang juga seorang filsuf. Melalui Erhard Weigel, Leibniz
mulai memahami pentingnya metode bukti untuk mata pelajaran matematika seperti
logika dan filsafat. E. Weigel percaya bahwa nomor adalah konsep dasar alam
semesta dan ide-ide Leibniz memiliki pengaruh yang cukup besar. Leibniz kembali
ke Lepzig pada bulan Oktober tahun 1663, yang kemudian ia memulai study menuju
gelar Master di bidang hukum. Leibniz dianugerahi gelar Master’s Degree dalam
filsafat untuk disertasi yang menggabungkan aspek-aspek belajar filsafat dan
hubungan hukum, dalam disertasinya ia menggunakan ide-ide matematika yang ia pelajari
dari E. Weigel. Setelah mendapat gelar
Master di bidang hukum, Leibniz bekerja dihabilitasinya pada bidang filsafat.
Karyanya akan diterbitkan pada tahun 1666 sebagai Dissertatio de Artc
Combinatoria (Disertasi pada Kombinatorial Seni). Dalam karya ini Leibniz
bertujuan untuk mengurangi semua penalaran dan penemuan untuk kombinasi dari
unsur-unsur dasar seperti angka, huruf, suara dan warna. Meskipun Leibniz diakui reputasinya dan
mendapatkan beasiswa, ia menolak mendapatkan gelar Doktor dalam bidang hukum di
Lepzig. Hal ini terjadi karena usianya yang masih muda untuk mendapat gelar
Doktor sehingga harus di tunda. Leibniz tidak siap untuk menerima segala
penundaan dan ia pergi langsung ke Universitas of Altdorf dimana ia menerima
gelar Doktor dalam bidang hukum di bulan Februari tahun 1667, untuk
disertasinya De Casibus Perplexis (Membingungkan Kasus) Penemuan Leibniz di
Bidang Matematika Pada saat Leibniz berumur
26 tahun, ia bertemu dengan Christian Huygens di Paris. Huygens awalnya adalah
seorang fisikawan , tetapi karya-karya terbaiknya justru terkait dengan
horologi ( ilmu tentang pengukuran waktu ), karena dia memang peneliti tentang
gerakan cahaya sekaligus seorang matematikawan. Setelah melihat kemauan dan
kejeniusan Leibniz, Huygens dengan senang hati mengajari matematika pada
Leibniz. Pelajaran dari Huygens sempat tertunda beberapa bulan saat Leibniz
harus bertugas di London sebagai atase. Pelajaran dan pengalaman-pengalaman
yang diperoleh Leibniz membuatnya dapat menemukan mesin hitung yang lebih hebat
dibandingkan buatan Pascal, mesin buatan Leibniz dapat menangani perkalian,
pembagian, dan menghitung akar bilangan. Pada tahun 1660-an, Newton memulai ide tentang
kalkulus. Tetapi karya-karyanya tersebut tidak diterbitkan selama hamper 20
tahun. Tidak ada yang mengetahui secara jelas, apakah Leibniz pada usia 33
tahun menemukan karya-karya terpendam Newton pada saat melakukan kunjungan ke London, karena pada saat itu
pula dia sedang mengembangkan kalkulus, meski dengan sedikit versi yang berbeda
dari Newton. Dimana temuan ini selalu diperdebatkan banyak orang. Newton tetap bersikeras bahwa kalkulus
adalah temuannya, namun Leibniz menyatakan bahwa dia mengembangkan kalkulus
versinya sendiri. Keduanya salinng tuduh plagiat. Komunitas matematika Inggris
mendukung Newton dan menarik diri dari komunitas matematikawan benua Eropa yang
mendukung Leibniz. Akibatnya, Inggris mengadopsi fluxion Newton dari pada
mengadopsi differensial Leibniz yang lebih heba. Akibatnya cukup fatal, karena
kelak pengembangan kalkulus di Inggris menjadi jauh tertinggal dibandingkan
Negara-negara Eropa lainnya. Selain
mesin hitung yang lebih hebat di bandingkan buatan Pascal dan kalkulus yang
ditemuakan oleh Leibniz, ia juga menelaah bilangan binnery. Pada tahun 1679,
Leibniz pertama kali mengenalkan system bilangan berbasis dua ( biner ). Hal
itu berawal dari korespondensi dengan Pere Joachim Bouvet, seorang Jesuit dan
misionaris di China. Lewat Bouvet ini, Leibniz belajar I Ching (sudah ada 5000
SM), heksagram (permutasi garis lurus dan garis patah sebanyak 6 susun) yang
terkait dengan sistem bilangan berbasis dua. Yin dan Yang pada heksagram yang
dilambangkan garis putus dan garis lurus digantikan dengan angka 0 dan angka 1.
Hasilnya, heksagram dikonversi menjadi bilangan biner. Sistem bilangan ini
kelak menjadi fondasi revolusi komputer.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa Leibniz mengemukakan teori penciptaan alam semesta dari kehampaan (void) lebih dari sekedar Tuhan / 0 dan kehampaan / 0, karena Leibniz berupaya menggunakan pengetahuan itu untuk mengubah orang China agar mau memeluk agama Kristen. Istilah matematika Leibniz dalam biner ini tergolongan sangat kontroversial, barangkali hal itu terjadi karena pengaruh latar belakang keluarga dan pendidikannya. Begitu pula sikapnya terhadap bilangan imajiner (i atau √(-1)) yang disebutnya dengan ruh Kudus. Dia sebenarnya memahami bahwa bilangan i akhirnya mengungkapkan hubungan antara nol dan bilangan tidak terhingga. Pemikiran - Pemikiran Leibniz Pada Filsafat Matematika Pemikiran Leibniz banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Terakhir adalah kesejajaran dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap proposisi dapat diredusir ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz mengambil posisi lebih radikal, bahwa predikat sebarang proposisi “termuat” di dalam subjek, paralel dengan doktrin metafisis yang terkenal bahwa dunia terdiri dari subjek yang self-contained (substansi atau monand yang tidak berinteraksi). Dalam bukunya Monandology, yang ditulis dua tahun sebelum kematiannya, ia memberikan sinopsis filsafatnya sebagai berikut: “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran, yaitu kebenaran penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran adalah perlu dan lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah kebetulan dan lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah perlu, alasannya dapat dicari dengan analisis, menguraikannya ke dalam ide-ide kebenaran yang lebih sederhana. Dengan demikian, kebenaran penalaran, mendasarkan pada “prinsip kontradiksi”, yang diambilnya untuk mengcover prinsip identitas dan prinsip tolak tengah. Bukan hanya tautologi trivial tetapi semua aksioma, postulat, definisi dan teorema matematika, adalah kebenaran penalaran. Dengan kata lain, semuanya itu adalah proposisi identik, yang sebaliknya adalah suatu pernyataan “kontradiksi”. Leibniz, setuju dengan Aristoteles, bahwa setiap proposisi di dalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Ia juga percaya bahwa subjek “memuat” predikat. Hal ini harus berlaku untuk semua kebenaran penalaran yang berbentuk subjek-predikat. Dengan demikian, menurutnya, harus benar untuk semua kebenaran penalaran apa pun. Dalam arti bagaimanakah kebenaran kenyataan dipandang sebagai subjek yang memuat predikatnya sangat tidak jelas. Untuk menjelaskan bahwa subjek dari kebenaran kenyataan memuat predikatnya, Leibniz membawa pengertian Tuhan dan ketakhinggaan. Reduksi kebenaran/kebetulan, yang akan menunjukkan predikatnya termuat dalam subjeknya, hanya mungkin bagi Tuhan. Leibniz menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa, seperti dalam kasus pecahan bentuk akar, “reduksi melibatkan proses tak hingga dan bahkan mendekati ukuran umum sehingga tertentu tetapi harus diperoleh deret tak berakhir, demikian pulalah kebenaran/kebetulan memerlukan analisis takhingga, yang hanya Tuhan sendiri yang mampu menyelesaikan. Konsep Leibniz tentang bidang studi matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, proposisi matematis adalah serupa proposisi logis dan bahwa proposisi ini bukan objek tertentu yang permanen atau idealisasi hasil abstraksi objek-objek atau sebarang jenis objek. Proposisi itu benar karena penolakannya akan jadi tak mungkin secara logis. Boleh dikatakan bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau dengan menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang mungkin.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa Leibniz mengemukakan teori penciptaan alam semesta dari kehampaan (void) lebih dari sekedar Tuhan / 0 dan kehampaan / 0, karena Leibniz berupaya menggunakan pengetahuan itu untuk mengubah orang China agar mau memeluk agama Kristen. Istilah matematika Leibniz dalam biner ini tergolongan sangat kontroversial, barangkali hal itu terjadi karena pengaruh latar belakang keluarga dan pendidikannya. Begitu pula sikapnya terhadap bilangan imajiner (i atau √(-1)) yang disebutnya dengan ruh Kudus. Dia sebenarnya memahami bahwa bilangan i akhirnya mengungkapkan hubungan antara nol dan bilangan tidak terhingga. Pemikiran - Pemikiran Leibniz Pada Filsafat Matematika Pemikiran Leibniz banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Terakhir adalah kesejajaran dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap proposisi dapat diredusir ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz mengambil posisi lebih radikal, bahwa predikat sebarang proposisi “termuat” di dalam subjek, paralel dengan doktrin metafisis yang terkenal bahwa dunia terdiri dari subjek yang self-contained (substansi atau monand yang tidak berinteraksi). Dalam bukunya Monandology, yang ditulis dua tahun sebelum kematiannya, ia memberikan sinopsis filsafatnya sebagai berikut: “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran, yaitu kebenaran penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran adalah perlu dan lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah kebetulan dan lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah perlu, alasannya dapat dicari dengan analisis, menguraikannya ke dalam ide-ide kebenaran yang lebih sederhana. Dengan demikian, kebenaran penalaran, mendasarkan pada “prinsip kontradiksi”, yang diambilnya untuk mengcover prinsip identitas dan prinsip tolak tengah. Bukan hanya tautologi trivial tetapi semua aksioma, postulat, definisi dan teorema matematika, adalah kebenaran penalaran. Dengan kata lain, semuanya itu adalah proposisi identik, yang sebaliknya adalah suatu pernyataan “kontradiksi”. Leibniz, setuju dengan Aristoteles, bahwa setiap proposisi di dalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Ia juga percaya bahwa subjek “memuat” predikat. Hal ini harus berlaku untuk semua kebenaran penalaran yang berbentuk subjek-predikat. Dengan demikian, menurutnya, harus benar untuk semua kebenaran penalaran apa pun. Dalam arti bagaimanakah kebenaran kenyataan dipandang sebagai subjek yang memuat predikatnya sangat tidak jelas. Untuk menjelaskan bahwa subjek dari kebenaran kenyataan memuat predikatnya, Leibniz membawa pengertian Tuhan dan ketakhinggaan. Reduksi kebenaran/kebetulan, yang akan menunjukkan predikatnya termuat dalam subjeknya, hanya mungkin bagi Tuhan. Leibniz menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa, seperti dalam kasus pecahan bentuk akar, “reduksi melibatkan proses tak hingga dan bahkan mendekati ukuran umum sehingga tertentu tetapi harus diperoleh deret tak berakhir, demikian pulalah kebenaran/kebetulan memerlukan analisis takhingga, yang hanya Tuhan sendiri yang mampu menyelesaikan. Konsep Leibniz tentang bidang studi matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, proposisi matematis adalah serupa proposisi logis dan bahwa proposisi ini bukan objek tertentu yang permanen atau idealisasi hasil abstraksi objek-objek atau sebarang jenis objek. Proposisi itu benar karena penolakannya akan jadi tak mungkin secara logis. Boleh dikatakan bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau dengan menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang mungkin.
Sumbangsih Leibniz Kalkulus tidak akan sempurna apabila tidak ada kiprah
Leibniz. Minat Leibniz yang sangat beragam ternyata membuka cakrawala baru bagi
perkembangan ilmu pengetahuan atau memunculkan disiplin ilmu baru. Hukum
internasional, sistem bilangan berbasis dua (binary), dan geologi adalah
disiplin ilmu hasil cetusan dari Leibniz. Belum lagi karya mesin hitung yang
merupakan penyempurnaan buatan Blaise Pascal yang mampu membuat orang zaman itu
berdecak kagum.
REFRENSI
Abdul, Atang, dkk. 2008. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. Pustaka Setia: Bandung
Halim, Abdul. 2008. Ensiklopedi Matematika. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta.
Sukardjono. 2004. Filsafat dan Sejarah Matematika. Universitas Terbuka: Jakarta.
Sumantri, Suria, dkk. 1999. Ilmu Dalam Perspektif. IKAPI: Jakarta.
Abdul, Atang, dkk. 2008. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. Pustaka Setia: Bandung
Halim, Abdul. 2008. Ensiklopedi Matematika. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta.
Sukardjono. 2004. Filsafat dan Sejarah Matematika. Universitas Terbuka: Jakarta.
Sumantri, Suria, dkk. 1999. Ilmu Dalam Perspektif. IKAPI: Jakarta.
Komentar
Posting Komentar